Jakarta, Sebelum berkonflik dengan Islam, Prancis memiliki rentang sejarah kelam dengan beragam semitik lain, seperti Katolik dan Yahudi. Eskalasi dengan Islam saat ini tengah meninggi, sedang konflik dengan dua agama lainnya relatif mereda.
Melihat sejarah tersebut, Lurah Ngaji Ihya Ulumiddin Ulil Abshar Abdalla meyakini bahwa konflik tersebut akan reda. Bahkan, Islam dan negara Prancis akan berintegrasi.
“Saya tuh optimis nanti akan terjadi integrasi Islam dalam masyarakat Prancis. Tidak mungkin perang terus, nggak mungkin,” katanya saat galawicara Peci dan Kopi bertema Islam and Blasphemy yang digelar 164 Channel dengan NU Online pada Selasa (3/11).
Dulu, ceritanya, konflik Katolik dan negara Prancis lebih menyeramkan. Sementara konflik Prancis dengan Yahudi memang, menurutnya, tidak terlalu. “Tapi dengan Islam memang sekarang keras sekali. Tapi saya kira itu bisa diatasi dalam jangka panjang ya,” ujarnya.
Ia mengakui bahwa masalah ini sekarang memang sangat rumit. Menurutnya, model kebijakan yang dianut oleh pemerintah Prancis itu kaku (rigid). Membaca komentar para pandit atau para akademisi mengenai kebijakan Prancis ini, katanya, memang problematis. Sebab, negara-negara yang lain jauh lebih lunak dalam mengatasi masalah kehadiran orang Islam dan imigran.
“Prancis ini sedang dalam proses untuk mengatasi masalah ini dan saya rasa bangsa Indonesia terutama NU ya kita harus bantu juga ya,” ujar pengajar di Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia itu.
Menurutnya, para imigran yang datang dan hidup di negeri lain membawa nilai-nilai yang sangat rigid di Prancis dan menjadi masalah tersendiri. Karenanya, ia menegaskan perlunya mereka membuka diri dengan Prancis akan nilai-nilai yang dijunjungnya. Pun Prancis juga harus membuka diri dengan masyarakat Islam yang tinggal di negerinya.
“Prancis juga perlu membuka diri sebetulnya kepada orang Islam. Tapi orang Islam yang di sana, terutama orang Islam kaku ini juga harus membuka diri kepada Republik. Maksudnya Republik itu istilah yang dipakai di Prancis untuk menyebut Republik itu simbol dari negara dengan nilai-nilai kewargaannya,” pungkasnya.
Kegiatan galawicara ini juga menghadirkan Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, Pakar Hubungan Internasional yang juga alumni Prancis Mahmud Syaltout, dan Dosen Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta Nur Rofiah.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin
Sumber : NU Online